Cabin Air Asia QZ7682 |
23 Januari 2012, Langit Bangkok terlihat cerah. Beberapa awan terbang beriring
dikegelapan. Di bawah, kereta berjalan mengikuti rel yang berkelok-kelok.
Gemerlap lampu gedung dan kendaraan seolah menyambutku dengan sejuta salam
hangat negeri seribu Wat. Lampu kabin meredup. Pertanda sebentar lagi landing. Tak
terasa sudah tiga setengah jam mengudara. Ku pejamkan mata berdoa pada ilahi.
Terimakasih Tuhan, kau kabulkan doa ku untuk melihat dunia. Ini adalah awal dan
semoga akan berlanjut dikemudian hari.
Tidak
mau kalah dengan penumpang lain untuk bergegas keluar dari pesawat dan segera
menghirup udara Bangkok pertama kali, aku pun terpaksa harus menyerobot
beberapa penumpang. Ah Bangkok, pikirku. Aku mengulas senyuman. Angin
menyambutku ketika keluar dari pintu dan menuruni anak tangga. Landasan yang
terlihat basah karena habis hujan membuat malam terasa dingin.
QZ7682 yang membawaku ke Bangkok dari Surabaya |
Entah kenapa, kami para penumpang turun dari pesawat
tidak melalui belalai gajah melainkan melalui tangga. Setelah turun, baru aku
tau kalau pesawat yang aku naiki berada di deretan pesawat cargo. Mungkin
appron kedatangan sedang penuh dan terpaksa di alihkan ke terminal cargo. Kami
diharuskan naik shuttle bus yang sudah disediakan pihak maskapai yang mengantar
penumpang menuju arrival hall.
Dalam pejalanan menuju Arrival Hall. Aku bertemu dengan
sosok waria dari surabaya. Pertamanya aku tidak sadar kalau di sampingku ini
seorang waria. Selayaknya perempuan, ia cantik dan memang sempurna seperti
perempuan. Aku baru tau setelah beberapa
obrolan kulontarkan guna mengorek
informasi tentang transportasi di Bangkok. Secara jujur ia bilang dirinya
sebenarnya laki-laki tetapi takdir berkata lain yang mengharuskan dirinya untuk
memilih jalan hidup. Aku sempat sedikit kaget tak percaya. Lalu kulontarkan
sedikit pujian kalau dirinya tak seperti waria, dirinya bahkan lebih cantik
dari para wanita surabaya. Bibirnya
tersenyum seakan tersipu. Hahaha, kami tertawa. Dan entah kenapa, aku merasa dirinya bukan seorang waria, padahal aku trauma dengan waria. :)
Suasana Imigrasi Suvarnabhumi Airport |
Obrolan kami berlanjut hingga di Imigrasi. Ternyata ada
yang belum aku isi kartu kedatangan di bagian di mana aku akan tinggal di
Bangkok. Untunglah Mbak Nana (bukan nama sebenarnya) memberikan alamat
apartementnya. Mbak Nana memang sempat terkejut mendengar bahwa ini kali
pertamanya aku di bangkok sendirian dan belum tau di mana aku akan menginap.
Bahkan ia sempat menawariku tumpangan gratis di apartemennya, setelah ia tau
aku akan bermalam di Bandara untuk malam itu. Bukannya aku tak mau menerima
tawarannya, tapi aku takut, hehehehe. Aku tersenyum dengan bijak menolaknya.
Berkelit untuk berbohong akhirnya aku bilang kalau masih ada teman dari jakarta
yang harus aku tunggu. Ya Tuhan, aku telah berbohong pada orang yang baik yang
menawari tumpangan gratis. Tapi.... apa daya, hati masih ragu.
Me in Suvarnabhumi Airport |
Keluar imigrasi dengan baik hati mbak nana mengajakku
makan malam. Sempat aku menolak, tapi cacing di perut sudah tak mau diajak
kompromi. Suvarnabhumi International airport adalah bandara modern pertama kali
yang pernah aku kunjungi. Megah dan kesannya seperti mall. Beda sekali dengan
bandara juanda dan soekarno hatta di jakarta. Kami makan di deretan foodcourd di
lantai ground. Nasi goreng seafood menjadi pilihan makanan pertamaku di daratan
Thailand. Sebenarnya aku ingin mencoba Phad Thai, tapi karena terdapat kandungan babi, ku urungkan niatku.
Me in Foodcourt Suvarnabhumi Airport |
Sambil menikmati makan malam, mbak
nana banyak bercerita tentang dirinya. Bagaimana ia menjalani liku hidupnya,
dan hingga ia menemukan Bangkok sebagai tempat hidupnya setelah Surabaya. Mungkin
di Bangkok lah mbak Nana (bukan nama sebenarnya) bisa mengaktualisasi dan mengapresiasikan
pilihan hidupnya sebagai waria. Ia sempat bercerita sedikit ketika aku bertanya
kenapa harus tinggal di Bangkok. Ia hanya ingin bebas, di Bangkok ia bebas, bekerja dan hidup untuk pilihan
hidupnya.
Hampir sejam kami mengobrol dan kami akhirnya harus
berpisah. Mbak nana harus segera ke apartemennya. Sambil tertawa kecil ia bilang
padaku, “romeoku wes teko, nek ono
opo-opo ojo sungkan ngubungi aku, koen seng ati-ati yo. romeoku sudah
datang, kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku, kamu hati-hati ya.”
Bahkan, ketika kujabat tangannya, tak ada kasar layaknya tangan lelaki. Halus
bak tangan seorang puteri. Ya Tuhan, kenapa harus kau ciptakan dirinya
laki-laki jika menjadi perempuan ia dapat secantik putri raja.
Me in Suvarnabhumi Airport |
Sungguh di luar dugaan. Bisa berkenalan dengan seorang
Waria bernama Mbak Nana hingga ditraktir makan malam. Aku menyunggingkan bibirku
tersenyum dalam hati dan berdoa. Semoga akan aku temukan hal-hal yang belum
pernah aku temukan dan akan memberikan suatu pengalaman dan pelajaran hidup.
Ada Musholahnya juga lo |
Ku
panggul kembali ransel ku. Masih belum puas aku mengagumi kemegahan
suvarnabhumi, akupun memutuskan untuk berkeliling dari ujung ke ujung sambil
mencari informasi tentang hal-hal yang akan aku lakukan keesokan harinya.
Hingga aku menemukan tempat dimana banyak orang-orang yang beberapa didominasi
bule-bule barat merebahkan tubuhnya di kursi-kursi panjang bandara. Ada juga
yang menggelar sleeping backnya menikmati lelap tepat di bawah eskalator. Ku hampar sarung yang ku bawa dari
rumah. Dingin AC tak menyurutkan niatku untuk beristirahat mala m ini. Karena
esok, petualangan sesungguhnya akan dimulai.
wah i like ur story,,,
BalasHapusje l'aime...
Tunggu Part 3 yah mas
Hapus