Senin, 24 Desember 2012

My Selangor, My Story

Selangor. Sungguh tidak pernah terlintas di benak ini untuk mengunjungi Selangor. Selain kurangnya informasi yang saya dapat mengenai Selangor, juga dikarenakan dalam benak ini sudah tertanam jika Malaysia itu tempat yang paling pas untuk dikunjungi adalah Kuala Lumpur, Melaka dan juga Penang. Meskipun saya tak pernah berkunjung ke tiga tempat tersebut. Hanya Johor Bahru sajalah satu-satunya kawasan Malaysia yang pernah saya kunjungi.

Johor Bahru, Malaysia
Tapi sekarang, pikiran itu sudah berubah. Selangor, tempat yang wajib di kunjungi di Malaysia. dan berharap dengan program My Selangor Story ini saya bisa berkesempatan mengunjungi, melihat dan merasakan atmosfir Selangor yang sebenarnya. Sehingga akan memberikan ingatan yang menyenangkan bagi saya yang hobi Backpacking.

Sudah saya menjelajah sendirian ke enam negara ASEAN termasuk Malaysia meski hanya Johor Bahru dengan harapan menemukan suatu pengalaman baru. Menceritakan segala kejadian dan pengalaman pada teman-teman dan kerabat. Yang terkadang membuat mereka tertawa mendengar ceritanya. Mengerutkan kening dan bahkan kagum serta memuji diriku yang sangat berani. Dan besar harapan saya untuk terpilih mengikuti program My Selangor Story 2013 ini sehingga saya bisa banyak bercerita banyak tentang pengalaman yang akan saya dapatkan mengenai keunikan, keindahan dan pestapora kehidupan Selangor yang awalnya belum pernah terpikirkan di benak saya. Semenarik apakah SELANGOR?




Senin, 20 Agustus 2012

Wat Arun, The Temple of Dawn


The Grand Palace, Thailand
Puas pusing-pusing di The Grand Palace. Saya melangkahkan kaki bergegas menuju Tha Tien Pier dan menyebarang menuju Wat Arun atau yang dikenal juga The Temple of Dawn.   

Dalam perjalanan, sengaja aku memperlambat langkah untuk sekedar melihat-lihat keramaian pasar pinggir jalan yang menjual beraneka ragam barang, mulai dari baju-baju yang sepertinya baju bekas, juga ada yang menjual uang-uang kuno Thailand, Makanan-makanan yang namanya tak ku kenal serta ada beberapa penjual entah apa namanya saya lupa seperti gantungan kalung yang terbuat dari kuningan sangat banyak menggunung dan pembeli diberi kebebasan untuk memilih. Mungkin ini digunakan sebagai jimat. Entahlah.

Aku memilih beristirahat sejenak di taman dekat pier sambil menikmati mangga potong yang saya beli seharga 20 bath. Banyak sekali saya temui pedagang buah di sekitaran Grand Palace. Tidak hanya mangga, tapi juga jambu dan nenas yang dimakan dengan garam yang sudah dimodifikasi yang rasanya gurih pedas gimana gitu. Nikmat sekali dimakan panas-panas seperti ini.

Tha Tien Pier terletak di pinggir sungai Chao Phraya yang sangat membelah kota Bangkok. Anda mungkin akan bingung menemukan Pier ini. Letaknya memang di dalam pasar kecil Tha Tien. Jadi, jangan ragu bertanya jika anda kebingungan. Ada beberapa penjual kuliner khas Thailand dan beberapa penjual cendera mata seperti kaos, lukisan dan barang-barang hand made menuju Tha Tien Pier. Tiket hanya 2 bath untuk sekali sebrang ke Wat Arun. Angin begitu kencang. Membuat arus sungai berombak-ombak begitu kencang menghempas hempas mengoyangkan dermaga. 

Perahu yang akan membawa ku ke sebrang berhenti sejenak di dermaga. Aku dan para penumpang yang lain dapat merasakan betapa hebatnya guncangan-guncangan air yang pada saat itu memang sangat dahsyat.. sedahsyat ombak dilautan luas.. hahaha.. lebay.. tapi memang benar, guncangan yang dirasakan mamang menakutkat. Seolah akan membalikkan perahu ini. Mesin boat dinyalakan. Perlahan perahu meninggalkan dermaga membelah Chao Phraya dengan arusnya yang deras berombak.

Tak sampai lima menit, perahu sudah merapat di dermaga Wat Arun. Aku bergegas turun. Ada keramaian disekitar halaman Wat Arun. Saat itu memang sedang diperingati sebagai Hari Raya China. Di sini, di Wat Arun kemeriahan hari raya china pun sangat terasa. Ada tenda-tenda berhiaskan serba merah. Buah jeruk, Barong sai juga petasan-petasan yang digantungakn di pohon-pohon juga siap untuk diatraksikan. Sangat ramai dan sangat sacral karena juga ada pendeta yang sedang membacakan mantra melalui pengeras suara juga mengisi ceramah (mungkin itu semacam khotbah) tapi entahlah, aku tak mengerti apa yang diucapkan. Yang penting aku sebagai pengunjung harus ikut menjaga keberlangsungan acara ini.

Yang kaget juga, ada beberapa orang sedang sembahyang menyembah patung sang Buddha lalu kemudian beranjak dan mengaitkan uang kertas 20 bath diantara gantungan-gantungan uang yang sudah dikaitkan sebelumnya dengan staples. Hingga banyak sekali rentetan gantungan uang kertas berwarna biru itu. Melambai-lambai terkena tiupan angin. Hem.. andai boleh mengambil satu gantungan saja.. :P

Setelah membeli tiket masuk seharga 50 bath. Aku melenggangkan kakiku menuju Wat Arun. Perlu diingatkan lagi bagi anda para wanita. Hanya yang berpakaian sopan dan bukan tank top yang diizinkan masuk. Maklum, ini adalah wat atau nama umumnya kuil yang dianggap sakral. Yah, inilah Wat Arun, The Temple of Dawn.

Naik ke puncak Wat Arun adalah hal yang sangat wajib. Karena dari sinilah kita bisa menikmati keindahan Bangkok dan Sungai Chao Phraya dari atas. Tentunya napas akan tersengal sengal menapaki anak tangga yang miringnya hanpir 45 derajat. Tapi semuanya akan terbayarkan jika anda sudah berada di puncak. Menurut yang aku baca di forum di internet. Pada pagi hari, tat kala matahari terbit, sinarnya akan merefleksikan binar-binar keindahan wat di tepi sungai Chao Phraya. Itulah kenapa wat ini disebut The Temple of Dawn. Kuil kala Subuh.

Teman-Teman Baru di Wat Arun
Di tempat ini juga disemayamkan abu dari King Rama II, tepatnya dibawah patung Budha Utama yang di tempatkan di dalam kuil. Setelah mengabadikan beberapa moment dengan nafas masih belum stabil, aku memutuskan untuk segera turun dan beristirahat dibawah. Aku ingin menikmati indah dan tingginya kuil dari bawah. Dan memang benar, sungguh sangat indah. Ujungnya yang melancip ke atas seolah hendak menggapai awan di langit biru. Terimakasih Tuhan, karenamu aku bisa sampai disini. 

Ada yang unik dan sempat kaget pas hendak keluar dari Wat. Aku dan pengunjung yang hendak keluar memang diarahkan melalui sebuah pasar dengan berderet pedagang kaos-kaos bertuliskan Thailand juga pernak pernik khas seprti gantungan kunci hingga magnet kulkas. Kenapa ku bilang kaget? Yah karena saya melihat tulisan berbahasa Indonesia digantung disebuah kios. “Harga murah 1 potong 90 bath, 12 potong 1000 bath”. Wau.. keren.. pikirku. Akupun segera merapat ke kios tersebut mencoba menguak mencari tau kenapa.

foto: http://torajacybernews.com
Seorang wanita setengah baya menghampiriku. Indonesia? Tanyanya kepadaku. Aku mengiyakan. Tanpa disuruh, wanita itu langsung nyerocos dengan bahasa indonesianya yang menurutku sangat lancer meskipun kurang dalam kefasihan. Ini kaos mas, bla bla bla.. sangat lihai sekali menawarkan barang dagangannya.

Ternyata, usut punya usut dari si mbak, memang, kebanyakan pedagang di sini bisa berbahasa Indonesia khususnya bahasa Indonesia dalam hal tawar menawar dan wisata dikarenakan pengunjung di sini banyak yang dari Indonesia. Mereka terkesan cerewet dalam hal tawar menawar. Itulah kenapa mereka sering berinteraksi dan belajar bahasa Indonesia untuk berdagang. 6 gantungan kunci saya beli seharga 100 bath, lumayan murah. Itung-itung juga sebagai rasa terimakasih untuk si mbak yang sudah aku itrogasi secara tidak langsung. Ehm.. keluar dari situ aku senyum-senyum sendiri. Unik yah, tak ada alas an untuk tidak bangga pada Indonesia. Hehehe.. 

Kamis, 26 Juli 2012

Suatu Pagi di The Grand Palace

24 Januari 2012. Dengan membayar 7 bath saja, bus 53 membawaku menuju kawasan yang sering disebut Ratanakosin atau bisa disebut kota tua Bangkok dan Ratchadamnoen Avenue adalah jalanan yang terkenal dimana disekitaran avenue tersebut terdapat bangunan-bangunan bersejarah. Di sini saya ingin menghabiskan waktu dengan mengunjungi Grand Palace, Wat Pho dan Wat Arun yang juga sering disebut The Temple of Dawn.

Matahari mulai meninggi. Keramaian mulai terasa. Terlihat mereka para wisatawan berseliweran disepanjang jalan. Saya memilih turun dipersimpangan jalan antara Wat Pho dan Tha Tien Pier (semacam pelabuhan kecil) yang nantinya saya akan menggunakan perahu menuju Wat Arun. Namun, tujuan pertama saya kali ini adalah Grand Palace.

Rifki in Grand Palace
Panasnya udara Bangkok tak menyurutkan niat saya untuk tetap memamnggul backpack kecil dan melangkahkan kaki menuju Grand Palace. Awalnya saya kebingungan mencari dimana pintu masuk Grand Palace. Namun akhirnya saya menemukannya juga tepat diseberang Cafe AU BON PAIN. Meskipun terbilang masih jam 9 pagi, antusias pengunjung untuk datang dan menikmati Grand Palace sangatlah banyak. Bahkan antrian di loket sempat mengular.

Grand Palace buka setiap Hari 08:30 – 15:30. Lokasinya di Na Phra Lan Road, Old City (Rattanakosin). Harga tiket 400 bath. Tiket jangan dibuang, karena tiket ini sudah termasuk tiket masuk untuk Vimanmek Palace dan Abhisek Dusit Throne Hall. Menurut saya tiketnya harganya cukup mahal, namun keidahan yang ditawarkan Grand Palace sungguhlah diluar 400 bath. Sangatlah indah.

Tidak diragukan lagi bahwa The Grand Palace adalah tempat yang memiliki pemandangan terbaik di Bangkok City. Dibangun pada tahun 1782 – dan selama 150 tahun merupakan rumah dari Raja Thailand, pengadilan Royal dan kantor administrasi pemerintahan – Grand Palace Bangkok adalah bangunan yang besar dan anggun, yang terus memukau para pengunjung dengan arsitektur yang indah dan detailnya yang rumit, yang semuanya memberikan rasa hormat dan bangga akan kreativitas dan keahlian dari orang Thailand. Hingga hari ini, kompleks Grand Palace ini tetap menjadi pusat spiritual dari Kerajaan Thailand.

Di Grand Palace
Gatal rasanya saya untuk tidak berfoto-foto mengabadikan keindahan arsitekture yang ditawarkan. Dengan Pe-De nya saya harus sesekali sok kenal dan minta tolong kepada wisatawan lain yang berkunjung untuk mengambilkan foto diri saya. Maklum lah, sebagai solo traveling yang tidak punya patner jalan harus tebal muka jika ingin narsis mengabadikan sesuatu yang dianggapnya indah. Kadang saya harus menarik tempat sampah dan men-timer-kamera saya. hahaha.... kapan lagi saya kesini. yang lain, cuek sajalah. :P

Dalam kompleks istana ini berdiri beberapa bangunan yang mengesankan termasuk Wat Phra Kaew atau disebut juga Kuil Emerald Budha, yang berisi Emerald Buddha kecil, sangat terkenal dan sangat dihormati  berasal dari abad ke-14. Raja Thailand tidak lagi tinggal di istana ini mulai sekitar pergantian abad kedua puluh, tapi kompleks istana ini masih digunakan untuk menandai semua jenis acara seremonial dan upacara kenegaraan lainnya.

Kompleks istana, seperti sisa Ratanakosin Island, diletakkan sangat mirip dengan istana Ayutthaya, bekas ibukota mulia dari Siam yang digerebek oleh Burma. Pengadilan Luar, dekat pintu masuk, digunakan untuk departemen pemerintah rumah di mana Raja terlibat langsung, seperti administrasi sipil, tentara dan bendahara. Kuil Buddha Emerald terletak di salah satu sudut pelataran luar ini. Pengadilan Tengah adalah tempat kediaman Raja dan ruang yang digunakan untuk melakukan bisnis negara berada. Hanya dua dari ruang tahta terbuka untuk umum, tetapi Anda akan dapat mengagumi detail indah pada fasad struktur ini mengesankan.

Pengadilan batin di mana selir kerajaan Raja dan putri tinggal. Pengadilan batin itu seperti kota kecil seluruhnya dihuni oleh perempuan dan anak laki-laki di bawah usia pubertas. Meskipun tidak ada royalti saat ini berada di pelataran dalam, masih sepenuhnya tertutup untuk umum. Meskipun kedekatan Grand Palace dan Wat Phra Kaew, ada kontras yang berbeda dalam gaya antara Kuil sangat Thailand Emerald Buddha dan desain terinspirasi lebih Eropa dari Grand Palace (atap menjadi pengecualian utama). Menyoroti lain Boromabiman Hall dan Amarinda Hall, kediaman asli Raja Rama I dan Hall of Justice.

Di Grand Palace
Bagian lain di dalam gedung ini juga merupakan tempat tinggal selir-selir Raja dan anak-anak perempuannya. Tempat ini menjadi seperti kota kecil yang memiliki populasi para perempuan dan anak-anak yang dalam usia puber. Walaupun Raja tidak tinggal di tempat ini, lokasi ini tetap tertutup untuk publik. Meskipun kedekatan Grand Palace dan Wat Phra Kaew, ada kontras yang berbeda dalam gaya antara Kuil Emerald Buddha sangat bergaya Thailand dan desain terinspirasi lebih Eropa dari Grand Palace (atap menjadi pengecualian utama). Menyoroti lain Boromabiman Hall dan Amarinda Hall, kediaman asli Raja Rama I dan Hall of Justice.

Kaki sudah terasa gempor menelusuri gedung demi gedung, ruangan demi ruangan. Grand Palace memang istana yang indah. Jika anda ingin menikmati Grand Palace. Anda harus berpakaian sopan. Aturan berpakaian yang ketat berlaku. The Grand Palace dengan Kuil Emerald Buddha adalah situs Thailand paling suci. Pengunjung harus benar berpakaian yang sopan sebelum diizinkan masuk ke kuil. Pria harus memakai celana panjang dan kemeja dengan lengan (tidak ada tank top Jika Anda memakai sandal atau sandal jepit Anda harus memakai kaus kaki (dengan kata lain, tidak ada kaki telanjang.) Perempuan harus juga berpakaian sederhana.. Tidak tembus pakaian , telanjang bahu, dll Jika Anda muncul di gerbang depan berpakaian tidak benar, ada meja dekat pintu masuk yang dapat memberikan pakaian untuk melindungi Anda dengan benar (deposit diperlukan).

Jadi, kalau anda mau kesini jangan pakai Tank Top yah.. hehehehe..

Minggu, 29 April 2012

Nasionalisme Thailand di Hua Lamphong


24 Januari 2012, Stasiun Hua lamphong adalah stasiun utama di Bangkok. Atapnya berbentuk setengah lingkaran dan jika dilihat mirip sekali dengan stasiun Tandjung Priuk di Jakarta. Seakan memanjakan penumpang yang akan berpergian dengan kereta, di ruang tunggu, di depan deratan loket tiket, terdapat toko buku, beberapa deretan gerai makanan cepat saji dan Food court bagi yang berkantung cekak juga toilet yang sekaligus disewakan untuk mandi serta ruang sholat bagi kita umat muslim di lantai dua. Aku pun segera membersihkan diri untuk mandi di toilet Hua Lamphong dengan membayar beberapa bath.
Suasana Hua Lamphong
Badan sudah segar, belum sempat aku duduk, aku kaget melihat semua orang berdiri. Terdengar alunan lagu dari pengeras suara. Ada apa ini? Setelah beberapa saat orang orang kembali duduk, aku bertanya kepada bule disampingku. Kenapa barusan semua orang berdiri dan duduk ketika lagu dari pengeras suara diperdengarkan hingga selesai. Mark yang mengaku dari Ohio Amerika Serikat ini menjelaskan jika orang Thailand sangat nasionalis. Setiap jam delapan pagi dan jam enam petang, lagu kebangsaan Thailand akan diperdengarkan dan mereka semua tanpa terkecuali akan berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada Negara. Sunggu luar biasa, aku berdecak kagum. Betapa hormatnya mereka kepada Negara. Bagaimana ya jika lagu Indonesia Raya diperdengarkan setiap pagi dan petang. Mungkin nasionalisme bangsa Indonesia akan semakin kuat rasa persatuan dan kesatuannya dan tak akan ada lagi isu-isu perpecahan dan sara. Sebuah hal kecil demi keutuhan Negara.

Satu hal lagi yang aku sempat herankan. Ada foto berukuran besar tampak seorang pria berpose gagah mengenakan baju kebangsawanan yang dipajang di tempat-tempat umum seperti di Hua Lamphong dan stasiun-stasiun. Mungkin inilah petinggi Thailand yang sangat dihormati. Sehingga gambarnya dipampang dimana-mana untuk mengingatkan rakyatnya bahwa beliaulah yang sangat berjasa di Thailand. Sampai sekarang pun aku belum tau siapa beliau.

Kereta ke Nong Khai tersedia dalam tiga perjalanan di petang hari. Kereta pertama DRC 77 berangkat jam 18.35, kereta kedua Express 69 berangkat jam 20.00, dan yang ketiga Rapid 133 berangkat 20.45 waktu Thailand. Masing masing tiba di Nong Khai untuk DRC 77 perkiraan jam 05.05, Express 69 jam 08.25 dan Rapid133 09.45 waktu Thailand. Aku memutuskan memilih kereta pertama DRC 77 dengan pertimbangan kerena aku akan tiba sangat pagi di Nong Khai dan itu akan mempermudah untuk mempelajari kawasan sekitar dan mencari moda transportasi berikutnya untuk mencapai Vientiane. Bukan hanya itu saja, DRC 77 membawa rangkaian kelas 2 dan 3 yang mana aku akan memilih kelas 3 yang jatuhnya jauh lebih murah ratusan bath. Toh kemungkinan sama dengan kelas ekonomi Kertajaya Surabaya-Jakarta yang murah meriah dari pada harus menggunakan kelas dua bahkan satu. 

Untuk Express 69 rangkaian yang dibawa kelas satu dan dua dimana kereta kelas satu ialah sleeper class yang harganya juga lumayan. Sedangkan, kereta terakhir Rapid 133 awalnya menjadi pilihan juga karena gerbong kelas yang ditawarkan terdiri dari kelas satu dan dua, tetapi waktu ketibaan di Nong Khai terlalu siang jadi aku urungkan niat aku menggunakan kereta ini. Bedanya DRC 77 dan Rapid 133 adalah kereta yang digunakan. DRC adalah kepanjangan dari Diesel Rail Car atau kalau bisa aku gambarkan kereta seperti komuter atau krl seperti di Jakarta namun sudah didesain secara khusus untuk perjalanan jarak jauh. Sedangkan Rapid 133 menggunakan kereta layaknya kereta biasa, ada lokomotif di depan dan rentetan gerbong dibelakangnya. Untuk perbandingan harga, jika berkehendak menggunakan kelas 1 atau slepper class, bath yang harus dikeluarkan kurang lebih 1000 bath, kurang lebih 600 bath untuk kelas 2 dan untuk kelas 3 hanya 253 bath. Jauh berbeda bukan?  Semuanya memang tergantung selera, tetapi bagi aku, kelas 3 lah yang cocok jika ingin membaur bersama penduduk Thailand. Karena anda akan merasakan dan mengetahui perbedaan antara asongan Indonesia dan Thailand. Tidak ada goyang asolole apalagi keroncong. Hehehe….

Tiket sudah ditangan. Keluar dari Hua Lamphong aku dihadapkan dengan persimpangan jalan yang padat. Baliho papan reklame besar bertulisakan aksara thai tak aku mengerti sama sekali menambah kesan Bangkok sebagai kota metropolitan Thailand. Matahari sudah naik, udara panas pun mulai terasa. Tujuan aku berikutnya Grand Palace, Wat Arun atau Temple of Down dan Wat Pho. Setelah bertanya kesana kemari dan akhirnya aku dilemparkan ke tourist information centre yang ada di bagian depan stasiun. Bus 53 yang akan membawa aku ke Grand Palace, bisa ditunggu disamping stasiun Hua Lamphong.

Rabu, 25 April 2012

Part 3 - Day 1 Bangkok (Suvarnabhumi hingga Hua Lamphong)


24 January 2012 Aku terbangun oleh getar handphone di saku celana. Memang sengaja kupasang alarm hp dan ku taruh di dalam saku biar getarannya terasa, membangunkanku. Tak ada bedanya jam lima pagi dan jam 1 malam di suvarnabhumi. Lalu lalang penumpang seakan tak pernah henti.

Suasana Suvarnabhumi
Setelah membasuh muka di toilet dan menyempatkan sholat subuh di prayer room, segera saja aku menuju food court. Terletak di lantai satu tepat di pojok dalam area bandara, tempat makan ini adalah tempat makan faforit para pekerja bandara dan para penumpang berkantung cekak seperti aku ini. Bayar murah asal enak dan yang penting kenyang. Bayarnya pun cukup unik. Kita diwajibkan menukar bath dalam bentuk kupon di konter yang disediakan yang nantinya kupon-kupon tadi yang akan dijadikan alat pembayaran. Tenang saja, jika ada sisa kupon, kupon masih bisa ditukarkan kembali dengan bath sebelum batas waktu penukaran habis. Akh, jadi ingat mbak Nana.

Sempat bingung juga sebenarnya memilih makanan yang tidak mengandung babi di sini. Tapi tenang saja, katakan saja no pork atau halal food, pasti pelayan segera menyarankan menu mana yang cook bagi anda. Menu ku jatuh pada nasi dengan ayam yang diptong kecil-kecil dimasak seperti kari lengkap dengan semangkuk sup. Rasa ayamnya enak banget dan masih sesuai dengan lidah Indonesia. Akan tetapi, seperti ingin muntah rasanya ketika mencoba kuah sup yang hanya berisi beberapa potongan daun mirip seladri kalau di indonesia. Rasanya sungguh sangat menyengat hingga ke hidung. Aku yakin sekali yang membuat rasanya menyengat adalah potongan daun itu. Aku tidak tahu pasti daun apa itu. Kalau orang jawa mungkin bilang, rasane koyok walang sanget, rasanya seperti walang sanget.

Food Court
Selesai sarapan, aku membuka lembar itinerary dan selembar peta yang disediakan di bandara dengan gratis. Jadi bagi anda yang baru pertama kali bekunjung ke Bangkok untuk pertama kali seperti aku, tidak perlu khawatir tersesat. Semua informasi dapat anada peroleh secara gratis. Hari ini aku akan berkunjung ke Grand Palace, Wat Arun atau Temple of Down dan Wat Pho lalu kemudian perjalanan akan aku lanjutkan ke Vientiane, Lao PDR. Namun sebelumnya aku harus menuju Hua Lamphong, stasiun utama kota Bangkok untuk memesan tiket ke Nong Khai. Nong Khai adalah wilayah di Thailand yang berbatasan langsung dengan Vientiane, Lao PDR.

Ada beberapa pilihan menuju Hua Lamphong dari Suvarnabhumi, dan yang aku ketahui hanya menggunakan Taksi dan Airport Rail Link (kereta yang menghubungkan airport dengan pusat kota Bangkok) atau mini van untuk jarak jauh. Taksi dapat anda pesan dikonter yang telah disediakan atau langsung munuju luar bandara sedangkan Airport Rail Link terdapat di lantai paling bawah bandara.

Tersedia dua pilihan untuk Airport Rail Link. Pertama, SA Express yang munghubungkan Suvarnabhumi hingga Mekkassan station dan SA City line yang harganya lebih murah dibanding express melewati mekkassan hingga phaya thai station. Bedanya hanyalah waktu tempuh dan pemberhentian disetiap stasiun.

Sesampainya aku di Suvarnabhumi station, aku masih ragu, apakah aku harus membeli tiket di konter tiket atau melalui mesin tiket seperti yang orang-orang lain lakukan? Antara iya dan tidak, akhirnya ku putuskan untuk mencoba menggunakan mesin tiket. Aku harus mencoba apa yang tidak ada di Negara ku. Kalau pun masih bingung, pasti ada orang yang akan membantu. Setelah memperhatikan beberapa orang akhirnya aku sedikit tau jika pertama kali yang kita pilih adalah tujuan lalu kemudian akan muncul berapa harga yang harus dibayar, masukkan uang, tiket diprosess dan terdengar bunyi koin jatuh beserta tiket berbentuk bulat pipih mirip koin ditempat yang mamang sudah di sediakan. Aku tersenyum bangga, akhirnya aku bisa. 

Koin canggih :)
Kebingungan tak berhenti disitu, tetapi, selama mau belajar dan memperhatikan, kebungungan akan terjawab. Aku sempat bingung untuk masuk ke dalam peron yang ternyata hal itu mudah sekali. Hanya menempelkan koin merah tadi ke detector merah dan pintu akan terbuka. Wow….. sungguh sangat canggih. Aku kembali terkagum dengan hal ini.

Suara pengumuman ketibaan kereta terdengar dengan bahasa yang asing bagi aku. Cempreng memiliki cengkok khas seperti diayun-ayunkan cara bicara orang Thailand. Untunglah bahasa inggris juga di pakai di sini sehingga aku tidak kebingungan akan hal ini.

SA City Line mengantarku hingga ke Makkasan. Lumayan mahal memang untuk sampai ke Makkasan dari Suvarnabhumi sekitar 45 bath sekali jalan atau 14 ribu rupiah. Akan tetapi semua akan terbayar dengan kenyamanan fasilitas yang dihadirkan, bersih dan elegan untuk kereta sekelas dalam kota.

SA City Line, bersih ya
Makkasan station adalah stasiun sekaligus tempat untuk check-in bagi para penumpang yang akan melakukan penerbangan melalui Suvarnabhumi. Jadi tak perlu Check-in di airport melainkan bisa dari Makkasan. Besar dan mewah terkesan di Stasiun Makkasan. Aku turun dan melanjutkan perjalanan aku ke Hua Lamphong dengan berganti moda menggunakan MRT (Mass Rapid Transport) dari Phetchaburi station yang letaknya tak jauh dari Makkasan station. 

Pertama kali aku merasakan kehidupan Bangkok ketika keluar dari stasiun Makkasan berjalan kaki menuju Stasiun Phetchaburi. Matahari sudah mulai naik beberapa anak sekolah pun sudah banyak berkeliaran di jalanan. Seperti ini Bangkok, juga ada pemulung sampah seperti di Jakarta.

Sama seperti SA City Line, seolah terbiasa menggunakan mesin tiket, dengan tenang aku mengikuti antrian. Aku tekan tujuan, masukkan bath dan keluarlah tiket koinnya. Sungguh sangat mudah dan praktis. Seandainya hal ini bisa diterapkan di Jakarta, mungkin bisa mengurangi penggunaan kertas dan menghindari sampah tiket yang dibuang sembarangan.

Me in SA City Line
Entah kenapa, sifat Indonesia aku masih kebawa. Aku malu semalu malunya aku. Begitu kereta datang. Pintu terbuka dan aku seperti yang sering aku lakukan, bergegas masuk tanpa menunggu penumpang turun terlebih dahulu. Kalau di Jakarta, aku melakukan ini untuk bisa segera masuk dan berebut tempat duduk.

Aku berjalan bergegas melewati beberapa penumpang yang turun. Kereta memang penuh sesak. Akupun nyelonong menerobos begitu saja. Dan setelah aku membalikkan badan, aku terkejut bukan main. Penumpang yang ingin masuk kedalam kereta ternyata berbaris di samping pintu menunggu penumpang yang turun terlebih dahulu. Oh my God, apa yang sudah aku lakukan? Ini bukan Jakarta, ini Bangkok. Seharusnya aku mengikuti antrian itu. Aku melihat ada seorang bapak paruh baya yang mengerutkan kening menatap kearah ku dan menggelengkan kepalanya dengan senyum seolah memperingatkan aku. Tanpa pikir panjang, aku segera bergeser menjauh dari pintu di mana aku masuk tadi. Betapa merasa sangat malu sekali aku pagi ini.

Suasana Stasiun Hua Lamphong
Setibanya di Stasiun MRT Hua Lamphong aku memilih berhenti sejenak untuk menertawakan diri ku. Untunglah mereka tidak tau kalau aku dari Indonesia, setidaknya mereka masih mengira aku orang Thailand. Hahahaha, aku berusaha untuk tidak menyalahkan diri aku. Bukankah sebelum kita tahu dengan benar, kita harus berbuat salah? :) bersambung........

Minggu, 22 April 2012

Part II - Suvarnabhumi Airport dan Lelaki Tercantik di Dunia


Cabin Air Asia QZ7682
23 Januari 2012, Langit Bangkok terlihat cerah. Beberapa awan terbang beriring dikegelapan. Di bawah, kereta berjalan mengikuti rel yang berkelok-kelok. Gemerlap lampu gedung dan kendaraan seolah menyambutku dengan sejuta salam hangat negeri seribu Wat. Lampu kabin meredup. Pertanda sebentar lagi landing. Tak terasa sudah tiga setengah jam mengudara. Ku pejamkan mata berdoa pada ilahi. Terimakasih Tuhan, kau kabulkan doa ku untuk melihat dunia. Ini adalah awal dan semoga akan berlanjut dikemudian hari.
 
Tidak mau kalah dengan penumpang lain untuk bergegas keluar dari pesawat dan segera menghirup udara Bangkok pertama kali, aku pun terpaksa harus menyerobot beberapa penumpang. Ah Bangkok, pikirku. Aku mengulas senyuman. Angin menyambutku ketika keluar dari pintu dan menuruni anak tangga. Landasan yang terlihat basah karena habis hujan membuat malam terasa dingin. 

QZ7682 yang membawaku ke Bangkok dari Surabaya
Entah kenapa, kami para penumpang turun dari pesawat tidak melalui belalai gajah melainkan melalui tangga. Setelah turun, baru aku tau kalau pesawat yang aku naiki berada di deretan pesawat cargo. Mungkin appron kedatangan sedang penuh dan terpaksa di alihkan ke terminal cargo. Kami diharuskan naik shuttle bus yang sudah disediakan pihak maskapai yang mengantar penumpang menuju arrival hall. 

Dalam pejalanan menuju Arrival Hall. Aku bertemu dengan sosok waria dari surabaya. Pertamanya aku tidak sadar kalau di sampingku ini seorang waria. Selayaknya perempuan, ia cantik dan memang sempurna seperti perempuan. Aku baru tau setelah beberapa obrolan kulontarkan guna mengorek informasi tentang transportasi di Bangkok. Secara jujur ia bilang dirinya sebenarnya laki-laki tetapi takdir berkata lain yang mengharuskan dirinya untuk memilih jalan hidup. Aku sempat sedikit kaget tak percaya. Lalu kulontarkan sedikit pujian kalau dirinya tak seperti waria, dirinya bahkan lebih cantik dari para wanita surabaya. Bibirnya tersenyum seakan tersipu. Hahaha, kami tertawa. Dan entah kenapa, aku merasa dirinya bukan seorang waria, padahal aku trauma dengan waria. :)

Suasana Imigrasi Suvarnabhumi Airport
Obrolan kami berlanjut hingga di Imigrasi. Ternyata ada yang belum aku isi kartu kedatangan di bagian di mana aku akan tinggal di Bangkok. Untunglah Mbak Nana (bukan nama sebenarnya) memberikan alamat apartementnya. Mbak Nana memang sempat terkejut mendengar bahwa ini kali pertamanya aku di bangkok sendirian dan belum tau di mana aku akan menginap. Bahkan ia sempat menawariku tumpangan gratis di apartemennya, setelah ia tau aku akan bermalam di Bandara untuk malam itu. Bukannya aku tak mau menerima tawarannya, tapi aku takut, hehehehe. Aku tersenyum dengan bijak menolaknya. Berkelit untuk berbohong akhirnya aku bilang kalau masih ada teman dari jakarta yang harus aku tunggu. Ya Tuhan, aku telah berbohong pada orang yang baik yang menawari tumpangan gratis. Tapi.... apa daya, hati masih ragu.

Me in Suvarnabhumi Airport
Keluar imigrasi dengan baik hati mbak nana mengajakku makan malam. Sempat aku menolak, tapi cacing di perut sudah tak mau diajak kompromi. Suvarnabhumi International airport adalah bandara modern pertama kali yang pernah aku kunjungi. Megah dan kesannya seperti mall. Beda sekali dengan bandara juanda dan soekarno hatta di jakarta. Kami makan di deretan foodcourd di lantai ground. Nasi goreng seafood menjadi pilihan makanan pertamaku di daratan Thailand. Sebenarnya aku ingin mencoba Phad Thai, tapi karena terdapat kandungan babi, ku urungkan niatku. 

Me in Foodcourt Suvarnabhumi Airport
Sambil menikmati makan malam, mbak nana banyak bercerita tentang dirinya. Bagaimana ia menjalani liku hidupnya, dan hingga ia menemukan Bangkok sebagai tempat hidupnya setelah Surabaya. Mungkin di Bangkok lah mbak Nana (bukan nama sebenarnya) bisa mengaktualisasi dan mengapresiasikan pilihan hidupnya sebagai waria. Ia sempat bercerita sedikit ketika aku bertanya kenapa harus tinggal di Bangkok. Ia hanya ingin bebas, di Bangkok ia bebas, bekerja dan hidup untuk pilihan hidupnya.

Hampir sejam kami mengobrol dan kami akhirnya harus berpisah. Mbak nana harus segera ke apartemennya. Sambil tertawa kecil ia bilang padaku, “romeoku wes teko, nek ono opo-opo ojo sungkan ngubungi aku, koen seng ati-ati yo. romeoku sudah datang, kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi aku, kamu hati-hati ya.” Bahkan, ketika kujabat tangannya, tak ada kasar layaknya tangan lelaki. Halus bak tangan seorang puteri. Ya Tuhan, kenapa harus kau ciptakan dirinya laki-laki jika menjadi perempuan ia dapat secantik putri raja.

Me in Suvarnabhumi Airport
Sungguh di luar dugaan. Bisa berkenalan dengan seorang Waria bernama Mbak Nana hingga ditraktir makan malam. Aku menyunggingkan bibirku tersenyum dalam hati dan berdoa. Semoga akan aku temukan hal-hal yang belum pernah aku temukan dan akan memberikan suatu pengalaman dan pelajaran hidup. 

Ada Musholahnya juga lo
Ku panggul kembali ransel ku. Masih belum puas aku mengagumi kemegahan suvarnabhumi, akupun memutuskan untuk berkeliling dari ujung ke ujung sambil mencari informasi tentang hal-hal yang akan aku lakukan keesokan harinya. Hingga aku menemukan tempat dimana banyak orang-orang yang beberapa didominasi bule-bule barat merebahkan tubuhnya di kursi-kursi panjang bandara. Ada juga yang menggelar sleeping backnya menikmati lelap tepat di bawah eskalator. Ku hampar sarung yang ku bawa dari rumah. Dingin AC tak menyurutkan niatku untuk beristirahat mala m ini. Karena esok, petualangan sesungguhnya akan dimulai.

Sabtu, 21 April 2012

23 Januari 2012, Semuanya Berawal.. Semuanya Berubah..


Akhirnya….

Itulah kata-kata pertama kali saya ketika memasuki pesawat Air Bus 320 milik Indonesia Air Asia yang akan membawa saya ke Bangkok, Negeri Gajah Putih, Thailand. Ya Tuhan, akhirnya saya bisa pergi ke Luar Negeri. Akhirnya saya akan melihat dan akan mengalami sendiri kehidupan yang berbeda dengan Indonesia. Akhirnya saya akan bisa merasakan tersesat di negeri orang. Sendiri. Akhirnya….

Air Asia sore itu
Sebelum mengeksekusi perjalanan yang mengesankan ini, saya mengawalinya dengan pencarian tiket promo kemanapun tujuannya asalkan ke Luar Negeri. Paspor sudah teronggok melompong hampir setahun dilaci almari kamar menunggu stempel perdanya. Kasihan juga, hingga saya pun menemukan harga yang super murah kala itu dari Surabaya ke Bangkok yang dibandrol tidak sampai seratus ribu rupiah saja dengan Air Asia. Wow… tanpa pikir panjang, tiket akhirnya berhasil saya issued meskipun saya tidak tau nanti pulangnya naik apa dan kapan.

Jujur saja awalnya saya tidak percaya jika Air Asia yang iklannya pernah saya lihat sebelumnya di televisi mengenai promo yang menurut saya tidak masuk akal. Bayangkan saja, promo harga mulai 0 rupiah membuat saya yang awam dengan yang seperti ini juga berpikir masa iya sih gratis? Namun ketika kenyatannya saya dapat tiket perdana saya ke Bangkok tidak sampai seratus ribu rupiah, pikiran saya berubah total. It’s amazing.

Setelahnya saya disibukkan dengan membuat itinerary, sebuah perencanaan perjalanan sebagai pedoman tempat mana saja yang akan dikunjungi, bagaimana saya bisa mencapai tempat tersebut dan perkiraan berapa anggaran yang diperlukan. Mulai dari makan, akomodasi dan transportasi selama disana. Dalam penyusunan itinerary ini, memaksa saya untuk membaca dan mecari sumber informasi baik melalui internet ataupun buku-buku catatan perjalanan. Tiga bulan penuh aku mencari dan mengutak-atik buku-buku, forum-forum dan web site perjalanan berbarengan dengan tugas kuliah yang menumpuk. Saya tak mau tersesat di negeri orang, Saya harus tau apa yang harus saya lakukan ketika berada di sana. Sungguh tidak lucu sesampainya saya di sana kemudian hanya tolah toleh kanan kiri tanpa informasi apalagi tersesat dan kehabisan uang. Mungkin jalan satu-satunya kalau sudah seperti itu ya ke KBRI minta dipulangkan. Oh tidak.

Berbekal pengalaman saya terlibat menjadi Liaison Officer SEA GAMES XXI Jakarta Palembang 2011, saya pun memutuskan untuk merencanakan trip perdana saya dengan mengunjungi 7 Negara sekaligus; Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Singapura, dan Malaysia. Akan tetapi saya mengurungkan niat mengunjungi Myanmar dikarenakan Visa untuk masuk masih harus mengurus di Kedutaan Myanmar Untuk Indonesia di Jakarta sedangkan jarak tempat tinggal saya yang di Jawa Timur cukup jauh jika harus ke Jakarta.

Jadilah itinerary besar saya seperti ini; Thailand-Laos-Kamboja-Vietnam-Singapura-Malaysia. Saya memutuskan untuk mengunjungi 6 negara tersebut sebisanya dengan waktu singkat 15 hari. Berangkat dari garis besar ini saya mulai menyusun tempat mana saja yang layak untuk dikunjungi. Saya ingin melakukan perjalanan ini tidak terlalu lama dikarenakan budget minim dan juga saya ingin mengunjungi tempat-tempat wisata utama dan atau ibu kota Negara. Selain itu saya ingin merasakan bagaimana suasana ketika melintas perbatasan beberapa Negara yang pastinya memliki perbedaan. Merasakan bagaimana rasanya bisa makan pagi di Thailand dan Makan siang sudah di Kamboja yang tentunya akan menjadi pengalaman luar biasa yang akan saya dapatkan. Lagi pula saya akan senang melihat pasporku penuh dengan stemple cap imigrasi. hehehe :)


Pasporku setelah jalan-jalan :)

23 Januari 2012

Klakah-Surabaya-Bangkok
23 Januari 2012, pagi itu saya sudah bersiap-siap menuju Surabaya. Ayah yang rambutnya sudah beruban memanaskan mesin motor butut honda model lama. Ibu di dapur masih mempertanyakan keputusan saya pergi seorang diri ke negara yang belum pernah saya kunjungi. Beberapa kali beliau mempertanyakan keberanianku. Seolah saya masih kanak yang harus ditemani dan akan menangis ketika tersesat. 

“Saya sudah dewasa ibu, saya tau apa yang harus saya lakukan dan bagaimana jika nanti ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Jadi tenanglah.” Saya berkata demikian. 

“Ya sudah, hati-hati” kata ibu sambil menyodorkan nasi berlumur kecap dan telor ceplok.

Setelah sarapan, saya memanggul ransel dengan penuh tekat. Kucium tangan dan kening ibu yang sudah mulai berkeriput. Terucap beberapa pesan agar hati-hati di negeri orang. Terlihat juga senyum bangga ayah yang sangat berbeda sekali dengan ibu. Ayah senang melihat saya bisa ke luar negeri. Dengan semangat 45 beliau mengemudikan motornya membonceng saya dan mencoba ngebut, namun sayang kecepatan sepeda motor miliknya terbatas.

Setelah beberapa jam, saya sudah meninggalkan Klakah kampung halaman. Bus yang saya tumpangi terjebak macet di Porong. Hati sudah deg-degan bagaimana jika nanti terlambat untuk check in dan gagal terbang. Betapa malunya saya nanti. Pikiran saya berkecamuk hal negative sedangkan bus AKAS seolah merangkak pelan mengikuti gerak kendaraan didepannya.

Jam 2 kurang 15 menit akhirnya saya tiba di terminal purabaya Surabaya yang lebih dikenal dengan bungurasih. Beberapa supir taksi dan ojek menawarkan untuk mengantarkan saya ke Bandara. Namun pilihan saya tetap menggunakan Bus Bandara meskipun sebenarnya masih ragu akan sampai dalam waktu singkat. Beruntung bus segera berangkat menembus kemacetan Surabaya yang tidak terlalu padat seperti di ibu kota.

Bandara International Juanda sudah terlihat. Hati lega bibir tersenyum meskipun waktu check-in tinggal se jam lagi. 14.15 saya berlari menuju tempat Check-in. beruntung tidak terlalu sulit mencari konter check in Air Asia. Sudah terlihat sepi dan semua urusan check-in berjalan lancar karena aku sudah melakukan check-in online sebelumnya.

Di Imigrasi, saya sedikit nervous galau. Setelah memeriksa pasporku, petugasnya mempertanyakan tiket pulangku. Ku serahkan semua tiket kepulanganku yang super duper murah hasil berburu melalui website Air Asia, Ho Chi Minh ke Kuala Lumpur dan Singapura ke Jakarta.

Petugasnya berkerut kening, “Paspornya masih kosong ya, Gate nya di pojok,” ucap bapak beperawakan tinggi besar cakep itu sambil menyodorkan pasporku.
“Makasi pak,” saya tersenyum lega, akhirnya.

Cabin Air Asia QZ7682
Saya segera bergegas menuju gate yang diberitahukannya. Ternyata para penumpangnya sudah mulai memasuki ruang boarding. Pesawat merah Air Asia sudah tampak di luar kaca. Beberapa menit kemudian setelah memasuki pesawat akhirnya Air Asia no penerbangan QZ7682 inilah yang membawa saya terbang melewati batas Negara tepat jam 15.42 pesawat take off. Bangkok, I am coming…. 

Dan dari sinilah semua berawal. Penyakit dengan nama KECANDUAN mendera saya. Tangan saya terasa gatal jika mengetahui Promo besar Air Asia untuk tidak mengeksekusi tiket murah meriahnya. Mata saya enggan terpejam tengah malam demi mendapatkan tiket tujuan idaman. Inilah perubahan besar dalam hidup saya. Kecanduan jalan-jalan murah bersama Air Asia.
Penerbangan Perdanaku ke Nagoya juga First Fligt Inagurasi D7542 17 maret2014
Thanks Air Asia..