24 January 2012 Aku
terbangun oleh getar handphone di saku celana. Memang sengaja kupasang alarm hp
dan ku taruh di dalam saku biar getarannya terasa, membangunkanku. Tak ada
bedanya jam lima pagi dan jam 1 malam di suvarnabhumi. Lalu lalang penumpang seakan
tak pernah henti.
|
Suasana Suvarnabhumi |
Setelah
membasuh muka di toilet dan menyempatkan sholat subuh di prayer room, segera
saja aku menuju food court. Terletak di lantai satu tepat di pojok dalam area
bandara, tempat makan ini adalah tempat makan faforit para pekerja bandara dan
para penumpang berkantung cekak seperti aku ini. Bayar murah asal enak dan yang
penting kenyang. Bayarnya pun cukup unik. Kita diwajibkan menukar bath dalam
bentuk kupon di konter yang disediakan yang nantinya kupon-kupon tadi yang akan
dijadikan alat pembayaran. Tenang saja, jika ada sisa kupon, kupon masih bisa
ditukarkan kembali dengan bath sebelum batas waktu penukaran habis. Akh, jadi ingat mbak Nana.
Sempat
bingung juga sebenarnya memilih makanan yang tidak mengandung babi di sini.
Tapi tenang saja, katakan saja no pork atau halal food, pasti pelayan segera
menyarankan menu mana yang cook bagi anda. Menu ku jatuh pada nasi dengan ayam
yang diptong kecil-kecil dimasak seperti kari lengkap dengan semangkuk sup.
Rasa ayamnya enak banget dan masih sesuai dengan lidah Indonesia. Akan tetapi,
seperti ingin muntah rasanya ketika mencoba kuah sup yang hanya berisi beberapa
potongan daun mirip seladri kalau di indonesia. Rasanya sungguh sangat
menyengat hingga ke hidung. Aku yakin sekali yang membuat rasanya menyengat
adalah potongan daun itu. Aku tidak tahu pasti daun apa itu. Kalau orang jawa
mungkin bilang, rasane koyok walang
sanget, rasanya seperti walang sanget.
|
Food Court |
Selesai
sarapan, aku membuka lembar itinerary dan selembar peta yang disediakan di
bandara dengan gratis. Jadi bagi anda yang baru pertama kali bekunjung ke
Bangkok untuk pertama kali seperti aku, tidak perlu khawatir tersesat. Semua
informasi dapat anada peroleh secara gratis. Hari ini aku akan berkunjung ke
Grand Palace, Wat Arun atau Temple of Down dan Wat Pho lalu kemudian perjalanan
akan aku lanjutkan ke Vientiane, Lao PDR. Namun sebelumnya aku harus menuju Hua
Lamphong, stasiun utama kota Bangkok untuk memesan tiket ke Nong Khai. Nong
Khai adalah wilayah di Thailand yang berbatasan langsung dengan Vientiane, Lao PDR.
Ada
beberapa pilihan menuju Hua Lamphong dari Suvarnabhumi, dan yang aku ketahui
hanya menggunakan Taksi dan Airport Rail Link (kereta yang menghubungkan
airport dengan pusat kota Bangkok) atau mini van untuk jarak jauh. Taksi dapat
anda pesan dikonter yang telah disediakan atau langsung munuju luar bandara
sedangkan Airport Rail Link terdapat di lantai paling bawah bandara.
Tersedia
dua pilihan untuk Airport Rail Link. Pertama, SA Express yang munghubungkan
Suvarnabhumi hingga Mekkassan station dan SA City line yang harganya lebih
murah dibanding express melewati mekkassan hingga phaya thai station. Bedanya
hanyalah waktu tempuh dan pemberhentian disetiap stasiun.
Sesampainya
aku di Suvarnabhumi station, aku masih ragu, apakah aku harus membeli tiket di
konter tiket atau melalui mesin tiket seperti yang orang-orang lain lakukan? Antara
iya dan tidak, akhirnya ku putuskan untuk mencoba menggunakan mesin tiket. Aku
harus mencoba apa yang tidak ada di Negara ku. Kalau pun masih bingung, pasti
ada orang yang akan membantu. Setelah memperhatikan beberapa orang akhirnya aku
sedikit tau jika pertama kali yang kita pilih adalah tujuan lalu kemudian akan
muncul berapa harga yang harus dibayar, masukkan uang, tiket diprosess dan
terdengar bunyi koin jatuh beserta tiket berbentuk bulat pipih mirip koin ditempat
yang mamang sudah di sediakan. Aku tersenyum bangga, akhirnya aku bisa.
|
Koin canggih :) |
Kebingungan
tak berhenti disitu, tetapi, selama mau belajar dan memperhatikan, kebungungan
akan terjawab. Aku sempat bingung untuk masuk ke dalam peron yang ternyata hal
itu mudah sekali. Hanya menempelkan koin merah tadi ke detector
merah dan pintu akan terbuka. Wow….. sungguh sangat canggih. Aku kembali
terkagum dengan hal ini.
Suara
pengumuman ketibaan kereta terdengar dengan bahasa yang asing bagi aku.
Cempreng memiliki cengkok khas seperti diayun-ayunkan cara bicara orang
Thailand. Untunglah bahasa inggris juga di pakai di sini sehingga aku tidak
kebingungan akan hal ini.
SA City
Line mengantarku hingga ke Makkasan. Lumayan mahal memang untuk sampai ke
Makkasan dari Suvarnabhumi sekitar 45 bath sekali jalan atau 14 ribu rupiah.
Akan tetapi semua akan terbayar dengan kenyamanan fasilitas yang dihadirkan,
bersih dan elegan untuk kereta sekelas dalam kota.
|
SA City Line, bersih ya |
Makkasan
station adalah stasiun sekaligus tempat untuk check-in bagi para penumpang yang
akan melakukan penerbangan melalui Suvarnabhumi. Jadi tak perlu Check-in di
airport melainkan bisa dari Makkasan. Besar dan mewah terkesan di Stasiun
Makkasan. Aku turun dan melanjutkan perjalanan aku ke Hua Lamphong dengan
berganti moda menggunakan MRT (Mass Rapid Transport) dari Phetchaburi station
yang letaknya tak jauh dari Makkasan station.
Pertama
kali aku merasakan kehidupan Bangkok ketika keluar dari stasiun Makkasan
berjalan kaki menuju Stasiun Phetchaburi. Matahari sudah mulai naik beberapa
anak sekolah pun sudah banyak berkeliaran di jalanan. Seperti ini Bangkok, juga
ada pemulung sampah seperti di Jakarta.
Sama
seperti SA City Line, seolah terbiasa menggunakan mesin tiket, dengan tenang aku
mengikuti antrian. Aku tekan tujuan, masukkan bath dan keluarlah tiket koinnya.
Sungguh sangat mudah dan praktis. Seandainya hal ini bisa diterapkan di
Jakarta, mungkin bisa mengurangi penggunaan kertas dan menghindari sampah tiket
yang dibuang sembarangan.
|
Me in SA City Line |
Entah
kenapa, sifat Indonesia aku masih kebawa. Aku malu semalu malunya aku. Begitu
kereta datang. Pintu terbuka dan aku seperti yang sering aku lakukan, bergegas
masuk tanpa menunggu penumpang turun terlebih dahulu. Kalau di Jakarta, aku
melakukan ini untuk bisa segera masuk dan berebut tempat duduk.
Aku berjalan
bergegas melewati beberapa penumpang yang turun. Kereta memang penuh sesak.
Akupun nyelonong menerobos begitu saja. Dan setelah aku membalikkan badan, aku terkejut bukan main. Penumpang yang ingin
masuk kedalam kereta ternyata berbaris di samping pintu menunggu penumpang yang turun
terlebih dahulu. Oh my God, apa yang sudah aku lakukan? Ini bukan Jakarta, ini
Bangkok. Seharusnya aku mengikuti antrian itu. Aku melihat ada seorang bapak
paruh baya yang mengerutkan kening menatap kearah ku dan menggelengkan kepalanya
dengan senyum seolah memperingatkan aku. Tanpa pikir panjang, aku segera
bergeser menjauh dari pintu di mana aku masuk tadi. Betapa merasa sangat malu
sekali aku pagi ini.
|
Suasana Stasiun Hua Lamphong |
Setibanya
di Stasiun MRT Hua Lamphong aku memilih berhenti sejenak untuk menertawakan
diri ku. Untunglah mereka tidak tau kalau aku dari Indonesia, setidaknya
mereka masih mengira aku orang Thailand. Hahahaha, aku berusaha untuk tidak
menyalahkan diri aku. Bukankah sebelum kita tahu dengan benar, kita harus
berbuat salah? :) bersambung........