The Grand Palace, Thailand |
Dalam perjalanan, sengaja aku memperlambat langkah untuk sekedar melihat-lihat keramaian pasar pinggir jalan yang menjual beraneka ragam barang, mulai dari baju-baju yang sepertinya baju bekas, juga ada yang menjual uang-uang kuno Thailand, Makanan-makanan yang namanya tak ku kenal serta ada beberapa penjual entah apa namanya saya lupa seperti gantungan kalung yang terbuat dari kuningan sangat banyak menggunung dan pembeli diberi kebebasan untuk memilih. Mungkin ini digunakan sebagai jimat. Entahlah.
Aku memilih
beristirahat sejenak di taman dekat pier sambil menikmati mangga potong yang
saya beli seharga 20 bath. Banyak sekali saya temui pedagang buah di sekitaran
Grand Palace. Tidak hanya mangga, tapi juga jambu dan nenas yang dimakan dengan
garam yang sudah dimodifikasi yang rasanya gurih pedas gimana gitu. Nikmat
sekali dimakan panas-panas seperti ini.
Tha Tien Pier
terletak di pinggir sungai Chao Phraya yang sangat membelah kota Bangkok. Anda
mungkin akan bingung menemukan Pier ini. Letaknya memang di dalam pasar kecil
Tha Tien. Jadi, jangan ragu bertanya jika anda kebingungan. Ada beberapa
penjual kuliner khas Thailand dan beberapa penjual cendera mata seperti kaos,
lukisan dan barang-barang hand made menuju Tha Tien Pier. Tiket hanya 2 bath
untuk sekali sebrang ke Wat Arun. Angin begitu kencang. Membuat arus sungai
berombak-ombak begitu kencang menghempas hempas mengoyangkan dermaga.
Perahu yang akan
membawa ku ke sebrang berhenti sejenak di dermaga. Aku dan para penumpang yang
lain dapat merasakan betapa hebatnya guncangan-guncangan air yang pada saat itu
memang sangat dahsyat.. sedahsyat ombak dilautan luas.. hahaha.. lebay.. tapi
memang benar, guncangan yang dirasakan mamang menakutkat. Seolah akan
membalikkan perahu ini. Mesin boat dinyalakan. Perlahan perahu meninggalkan
dermaga membelah Chao Phraya dengan arusnya yang deras berombak.
Tak sampai
lima menit, perahu sudah merapat di dermaga Wat Arun. Aku bergegas turun. Ada keramaian
disekitar halaman Wat Arun. Saat itu memang sedang diperingati sebagai Hari
Raya China. Di sini, di Wat Arun kemeriahan hari raya china pun sangat terasa. Ada
tenda-tenda berhiaskan serba merah. Buah jeruk, Barong sai juga petasan-petasan
yang digantungakn di pohon-pohon juga siap untuk diatraksikan. Sangat ramai dan
sangat sacral karena juga ada pendeta yang sedang membacakan mantra melalui
pengeras suara juga mengisi ceramah (mungkin itu semacam khotbah) tapi
entahlah, aku tak mengerti apa yang diucapkan. Yang penting aku sebagai
pengunjung harus ikut menjaga keberlangsungan acara ini.
Yang kaget
juga, ada beberapa orang sedang sembahyang menyembah patung sang Buddha lalu
kemudian beranjak dan mengaitkan uang kertas 20 bath diantara
gantungan-gantungan uang yang sudah dikaitkan sebelumnya dengan staples. Hingga
banyak sekali rentetan gantungan uang kertas berwarna biru itu. Melambai-lambai
terkena tiupan angin. Hem.. andai boleh mengambil satu gantungan saja.. :P
Setelah membeli
tiket masuk seharga 50 bath. Aku melenggangkan kakiku menuju Wat Arun. Perlu diingatkan
lagi bagi anda para wanita. Hanya yang berpakaian sopan dan bukan tank top yang
diizinkan masuk. Maklum, ini adalah wat atau nama umumnya kuil yang dianggap sakral.
Yah, inilah Wat Arun, The Temple of Dawn.
Naik ke
puncak Wat Arun adalah hal yang sangat wajib. Karena dari sinilah kita bisa
menikmati keindahan Bangkok dan Sungai Chao Phraya dari atas. Tentunya napas
akan tersengal sengal menapaki anak tangga yang miringnya hanpir 45 derajat. Tapi
semuanya akan terbayarkan jika anda sudah berada di puncak. Menurut yang aku
baca di forum di internet. Pada pagi hari, tat kala matahari terbit, sinarnya
akan merefleksikan binar-binar keindahan wat di tepi sungai Chao Phraya. Itulah
kenapa wat ini disebut The Temple of Dawn. Kuil kala Subuh.
Teman-Teman Baru di Wat Arun |
Di tempat ini
juga disemayamkan abu dari King Rama II, tepatnya dibawah patung Budha Utama
yang di tempatkan di dalam kuil. Setelah mengabadikan beberapa moment dengan
nafas masih belum stabil, aku memutuskan untuk segera turun dan beristirahat dibawah.
Aku ingin menikmati indah dan tingginya kuil dari bawah. Dan memang benar,
sungguh sangat indah. Ujungnya yang melancip ke atas seolah hendak menggapai
awan di langit biru. Terimakasih Tuhan, karenamu aku bisa sampai disini.
Ada yang unik
dan sempat kaget pas hendak keluar dari Wat. Aku dan pengunjung yang hendak
keluar memang diarahkan melalui sebuah pasar dengan berderet pedagang kaos-kaos
bertuliskan Thailand juga pernak pernik khas seprti gantungan kunci hingga
magnet kulkas. Kenapa ku bilang kaget? Yah karena saya melihat tulisan
berbahasa Indonesia digantung disebuah kios. “Harga murah 1 potong 90 bath, 12
potong 1000 bath”. Wau.. keren.. pikirku. Akupun segera merapat ke kios tersebut
mencoba menguak mencari tau kenapa.
foto: http://torajacybernews.com |
Ternyata, usut punya usut
dari si mbak, memang, kebanyakan pedagang di sini bisa berbahasa Indonesia khususnya
bahasa Indonesia dalam hal tawar menawar dan wisata dikarenakan pengunjung di
sini banyak yang dari Indonesia. Mereka terkesan cerewet dalam hal tawar
menawar. Itulah kenapa mereka sering berinteraksi dan belajar bahasa Indonesia untuk
berdagang. 6 gantungan kunci saya beli seharga 100 bath, lumayan murah. Itung-itung
juga sebagai rasa terimakasih untuk si mbak yang sudah aku itrogasi secara
tidak langsung. Ehm.. keluar dari situ aku senyum-senyum sendiri. Unik yah, tak
ada alas an untuk tidak bangga pada Indonesia. Hehehe..